Saturday, January 20, 2007

kisah waktu peperangan

http://hotmasitanggang-trt.blogspot.comSebagai anak laki-laki, dulu saya suka sekali main perang-perangan. Berbekal pelepah pisang yang dibentuk seperti senapan, bersama teman-teman, saya pun harus mengendap-endap dari satu sudut ke sudut yang lain.
“Dor.. dor… dor…” Barangsiapa yang tertembak duluan, berarti dia yang kalah. Itu aturannya. Permainan dibagi dua kelompok. Atau bahkan lebih —sehingga kelompok satu bisa mengalahkan kelompok lainnya. Untungnya, permainan ini sangat sportif, sehingga sang musuh mau mengakui kekalahan. Walau tanpa pertanda telah tertembak, sang musuh pun dengan senang hati mengaku kalah. Arah sasaran pun tiada banyak peduli, tepat atau tidak tepat, siapa yang tertembak duluan ia berarti kalah.
Permainan ini —setidaknya bagi saya waktu itu— sangat menarik. Terlebih, didukung acara televisi yang menyuguhkan adegan perang yang mengesankan [yang dijejalkan film-film asal Barat] sehingga sama sekali tidak berpikir bahwa perang itu menakutkan. Perang adalah penuh petualangan, persis seperti adegan di televisi: mengendap-endap dari sudut ke sudut, dan menembak sasaran yang lengah. Dan akhirnya, kemenangan dapat dicapai.Dor! Walau kematian bukanlah kematian yang sebenarnya, tersimpan sebuah kebanggan yang prestisius dalam hati. Perang hanya dilakukan oleh mereka yang berjiwa kesatria. Memiliki tubuh tinggi tegap gagah perkasa.
Itu hanya sekelumit cerita perang masa kecil saya… Perang-perangan masa kecil saya itu sama sekali tidak didasari kebencian, melainkan permainan semata. Sejelek-jeleknya, kalau mau dipetik pelajaran, perang masa kecil saya itu mengajari akan sportivitas dan kekompakan kelompok.
Namun kenyataan, perang sebenarnya tidaklah seperti perang-perangan masa kecil saya. Perang yang digambarkan dalam adegan televisi ternyata menipu, karena boleh jadi perang tidak didasari kebenaran dan sportivitas. Perang selalu menyisakan kesengsaraan: kehancuran, tangis duka, dan kematian. Belum lagi dendam yang akan terus membara dan akhirnya membentuk mata rantai yang tiada kunjung usai.
Jelas, kalau kita mau melihat dampak yang ditimbulkan, perang merupakan musibah besar. Perang adalah permainan anak-anak yang tiada mempunyai otak yang genap. Perang adalah tatacara primitif untuk menyelesaikan perbedaan; ambisi kekuasaan, atau kepentingan-kepentingan. Dan jelas, kalau dipandang dari segi kemanusiaan, perang tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai.
Namun herannya, di zaman yang konon sudah modern ini, perang merupakan sebuah cerita yang belum kunjung usai. Seolah sejarah terus berulang, seolah pula manusia tidak bisa belajar dari sejarah masa lalu yang hitam. Cerita perang seoleh masih akan berlanjut dan tiada terhapus dari pena sejarah. [Duh, sayang…]
Tercatat: kebencian menghasilkan perang, kekuasaan menghasilkan perang, kepentingan menghasilkan perang, dan bahkan agama —yang konon mencintai kedamaian pun— biasa jadi menghasilkan perang, kalau mengandalkan cara pandang yang primitif dan kekanak-kanakan.
Dor! Kamu kalah dan saya menang. Namun perang sebenarnya, biasanya anti mengakui kekalahan [!]
Kalau saudah begini, entah sampai kapan kisah perang akan berakhir… dan anak-anak tiada lagi tertarik bermain dengan perang-perangan [baik perang-perangan seperti sewaktu saya kecil maupun perang digital] yang menghasilkan doktrin kalah-menang.

1 comment:

martin said...

yeeee'''gimana ya kalau aku jadi presiden..mungkin gak kalau menurut kamu sich..aku berharap mudahan mudahan terjadii''hahhahahahah